PERANAN
ETIKA TERHADAP PELAKSANAAN BIROKRASI
Di susun oleh
ABIDIN 1011560
AMIRUDDIN M 1011569
AMIRUDDIN CAMBE 1011570
ALIF AKBAR SYAM 1011567
ADIR HAMZAH 1011562
ANDI SYAHRIR 1011909
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
PUANGRIMAGGALATUNG SENGKANG
2013/2014
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, bahwa atas
ridho dan karunia-Nyalah , maka kami masih dapat menyelesaikan tugas-tugas
menyusun Makalah dalam rangka Menyelesaikan Tugas meskipun di tengah-tengan kesibukan dan dalam
waktu yang sangat singkat. Hal ini dikarenakan kami merasa mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab sebagai peserta didik sekaligus akan melatih diri kami dalam
menyampaikan pemikiran-pemikiran khusunya yang berkaitan dengan makalah kami.
Tentu saja dengan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh penulis ditambah
sempitnya waktu yang diberikan kepada penulis, tulisan ini masih jauh dari
sempurna, lebih-lebih dukungan datanya hampir tidak ada,
Namun walaupun demikian penulis
berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya. Kritik dan saran
yang bermasud membangun, apa lagi mengembankan pemikiran ini, kiranya masih
terbukan bagi siapa saja. Betapa kecilnya bantuan yang diberikan namun apabila
diseta niat yang baik, akan terasa
besar juga manfaatnya Semoga bermanfaat.-
Penulis.
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Administrasi
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Administrasi
B.
Peranan Etika Administrasi Terladap Pelaksanaan Birokrasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lebih dari dua abad yang lalu, sebuah akademi di kota
Dijon Prancis mengadakan sayembara tertulis untuk menjawab pertanyaan
sederhana, apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan memberikan
sumbnagan bagi perbaikan moraltas manusia. Seseorang bernama Jean – Jacques
Rousseau dengan lantang menjawab pertanyaan tersebut dengan “Tidak” pertanyaan
yang diajukan akademi Dijon ini begitu sederhana, sebagaimana jawabannya.
Namun, Implikasinya demikian luas. Karena karya tulisnya untuk Akademi Dijon
yang menentang arus kemudian nama Rousseau bnayak disebut – sebut sebagai
filusuf brilian dari eropa.
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan,
referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya,
tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat,
perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik
atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat
memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud
kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan
sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi
negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan,
referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk
menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Sebagaimana diketahui, birokrasi atau
administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka
memberikan pelayanan umum serta
menciptakan kesejahteraan masyarakat Untuk itu, kepada birokrasi diberikan
kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan
masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.
Dalam wacana
kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya orientasi pada
pelayanan publik. Titik fokusnya pun terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. Namun demikian semakin dikaji
dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi pelayanan publik tersebut, maka
dalam dunia nyata semakin jauh makna hakiki dari pelayanan publik tersebut
diimplementasikan secara tepat.
Organisasi
publik (pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi pelayanan publik,
akhir-akhir ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk
memberikan dan mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut,
namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang diinginkan.
Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi organisasi pemerintah
(birokrasi) di dalam mengimplementasikan konsepsi mengenai pelayanan publik
tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk melaksanakan kebijakan yang
sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk mempunyai komitmen yang jelas
melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan dengan
baik. Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan
fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi
pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan di
dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai
acuan di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika
yang dijadikan sebagai pedoman di dalam setiap perilaku birokrat untuk
melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.
Isu tentang
etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang
dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun
telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di
Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang
berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen
yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis
dapatkan. Permasalahan tsb antara lain :
·
Bagaimana mengetahui pengertian etika administrasi?
·
Bagaimana mengetahui peranan etika dalam pelaksanaan
birokrasi?
C.Tujuan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Mengetahui pengertian etika administrasi?
·
Mengetahui peranan etika dalam pelaksanaan birokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Etika Administrasi
Etika berasal
dari bahasa Yunani: etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral
berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau
kebiasaan. Dari isyilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi
artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya.Moril bisa berarti semangat
atau doronganbatin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari
bahasa Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma
berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam prilaku manusia, norma
digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga
untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.
Moral merujuk
kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati,
kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum,
sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari
etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas. Orang
yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap sebagai orang
yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral,
namun menyiksa anak disebut tindakan tidak bermoral.
Secara
Epistimologis etika dan moral memiliki kemiripan, namun sejalan dengan
perkembangan ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada pergeseran arti.
Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsapat yang
mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral adalah hal-hal yang
mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau
norma.
Etika administrasi Negara yaitu
bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para
administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan
tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas
etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan
oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi
kepentingan rakyat.
Sebagai suatu bidang studi,
kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam ilmu
administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi
filsafat. Dengan demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya
empiris seperti halnya ilmu administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya
etika administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da
memegang jabatannya.
Etika administrasi Negara karena
menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan bangsa yang
demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan
demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral
yang luhur pula. Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai
sekarang yang sangat tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika administrasi
Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi pangkal pengkajian Etika
Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.
Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan
nilai dalam proses administrasiPembicaraan tentang kode etik bagi
orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali
membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode
etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi
negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama
perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau
paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi
atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan
untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode
etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri,
martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan
atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang
timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan
mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian
kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki
keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi karena
sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung
konsekuensi moral.
Kode etik bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi
karena bagaimanapun juga organisasi hanya akan dapat meraih sasaran-sasaran
akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja didalamnya memiliki aktivitas dan
perilaku yang baik.
B.
Peranan Etika Administrasi Terhadap Pelaksanaan Birokrasi
Isu tentang
etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang
dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun
telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di
Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang
kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur
tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus
keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini
harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik, mulai dari penyusunan
kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada
manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam
konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap
fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah
benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang
lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum, seperti
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty),
kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai
apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil
atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia,
dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Sejalan dengan
pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi
oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan
fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule
government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan
yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus
pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh
komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat
(publik) secara keseluruhan.
Alasan mendasar
mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public interest
atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah
yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan
pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan
harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa,
berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa
pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara
memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji
pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya
benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok,
partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi
dalam beretika”.
Keban (2001)
mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan
pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta
dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat,
kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat.
Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi,
keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi,
transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan
barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik
adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan
kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang
luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public
administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan
publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik
beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy
making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider
yang diberi tanggung jawab.
Bertens (2000)
menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan
biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika
disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1)
sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut
dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran
tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan
sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan
bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan
standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak
mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.
Pada sekitar
tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson
(dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa
standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada
tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam
Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus
mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku
tersebut.
Sejak permulaan
tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap
konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang
dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr
menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu
nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan
keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi
lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat
melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan
tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan
pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan
dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis
adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan
organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada
pembuatan keputusan administrasi.
Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Sedangkan Darwin (1999)
mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh
suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan
dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan
Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang
menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi.
Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai
dua fungsi, yaitu pertama sebagai
pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar
penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik,
buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang
dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam
menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik
pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,r esponsible,
accountable, dan responsiveness.
.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pemerintah pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998:139). Paradigma
penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule
government” menjadi “good governance”. Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule
government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan
pada pemerintah (government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan
seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Karakteristik atau unsur utama
penyelenggaraan manajemen kepemerintahan yang baik adalah penting adanya
akuntabilitas (accountability), transparasi (tranparancy), keterbukaan
(oppeness), dan law enforcement (rule of law) ‘Bhata dalam nisjar
(1997:119)’.
Administrasi negara (birokrasi publik)
sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik
dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya.ada tiga konsep
penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu
akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas (Darwin, 1997:72)
Namun dalam kenyataannya, tak sedikit
pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi
dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik. Sorotan
itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari
etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk
mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan
tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan
perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat
bawah.
Penyebab utama munculnya
mal-administrasi (bureaupathology) menurut Islamy (1998:14) adalah rendahnya
profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan
terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif,
berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik
di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang
diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan
adil.
Saran
1. Diperlukan
kesadaran dan itikad baik dari pribadi masing-masing dalam menjalankan tugas
guna terciptanya pemerintahan yang bersih
2. Perlunya
pemahaman nilai-nilai etika dan pengaplikasiannya
3. Perlu adanya
right man on the right place, guna menghindari terjadinya kolusi
4. Perlu
disusun agenda kebijakan pengembangan akuntabilitas dan responsibilitas publik
bagi semua anggota birokrasi publik.
5. Perlu adanya
aparat hukum yang mampu melakukan law enforcement yang tegas, jujur,
profesional, responsiveness dan baik, demi revitalisasi penataan ulang
manajemen pemerintahan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
http://anggia-megani.blogspot.com/2011/11/analisis-hubungan-etika-dan.html
http://www.scribd.com/doc/30385579/Studi-Dan-Lingkup-Etika-Administrasi-Negara
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A, 2008. Filsafat Administrasi.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Dr. J. Pangestu, Drs. Hazil, 1977. Management.
Bandung: PT Ghalia Indonesia.
Abdul Gani, Yusra Habib. 2009. Self government: Study Tentang Perbandingan
Desain Administrasi Negara. Jakarta : Paramedia Press.
0 comments:
Post a Comment