Saturday, November 15, 2014

MAKALAH PERANAN ETIKA TERHADAP PELAKSANAAN BIROKRASI



PERANAN ETIKA TERHADAP PELAKSANAAN BIROKRASI






Di susun oleh
ABIDIN                              1011560
AMIRUDDIN M                1011569
AMIRUDDIN CAMBE     1011570
ALIF AKBAR SYAM        1011567
ADIR HAMZAH                1011562
ANDI SYAHRIR                1011909

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
PUANGRIMAGGALATUNG SENGKANG
 2013/2014
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, bahwa atas ridho dan karunia-Nyalah , maka kami masih dapat menyelesaikan tugas-tugas menyusun Makalah dalam rangka Menyelesaikan Tugas  meskipun di tengah-tengan kesibukan dan dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini dikarenakan kami merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai peserta didik sekaligus akan melatih diri kami dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran khusunya yang berkaitan dengan makalah kami. Tentu saja dengan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh penulis ditambah sempitnya waktu yang diberikan kepada penulis, tulisan ini masih jauh dari sempurna, lebih-lebih dukungan datanya hampir tidak ada,
Namun walaupun demikian penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya. Kritik dan saran yang bermasud membangun, apa lagi mengembankan pemikiran ini, kiranya masih terbukan bagi siapa saja. Betapa kecilnya bantuan yang diberikan namun apabila diseta niat yang baik, akan terasa
besar juga manfaatnya Semoga bermanfaat.-


Penulis.



DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Administrasi
B. Peranan Etika Administrasi Terladap Pelaksanaan Birokrasi

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
   Lebih dari dua abad yang lalu, sebuah akademi di kota Dijon Prancis mengadakan sayembara tertulis untuk menjawab pertanyaan sederhana, apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan memberikan sumbnagan bagi perbaikan moraltas manusia. Seseorang bernama Jean – Jacques Rousseau dengan lantang menjawab pertanyaan tersebut dengan “Tidak” pertanyaan yang diajukan akademi Dijon ini begitu sederhana, sebagaimana jawabannya. Namun, Implikasinya demikian luas. Karena karya tulisnya untuk Akademi Dijon yang menentang arus kemudian nama Rousseau bnayak disebut – sebut sebagai filusuf brilian dari eropa.
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka memberikan pelayanan umum serta menciptakan kesejahteraan masyarakat Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.
Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya orientasi pada pelayanan publik. Titik fokusnya pun terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. Namun demikian semakin dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi pelayanan publik tersebut, maka dalam dunia nyata semakin jauh makna hakiki dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan secara tepat.
Organisasi publik (pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi pelayanan publik, akhir-akhir ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan dan mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut, namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi organisasi pemerintah (birokrasi) di dalam mengimplementasikan konsepsi mengenai pelayanan publik tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk mempunyai komitmen yang jelas melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan dengan baik. Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan di dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika yang dijadikan sebagai pedoman di dalam setiap perilaku birokrat untuk melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.
Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tsb antara lain :
·         Bagaimana mengetahui pengertian etika administrasi?
·         Bagaimana mengetahui peranan etika dalam pelaksanaan birokrasi?
C.Tujuan
   Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Mengetahui pengertian etika administrasi?
·         Mengetahui peranan etika dalam pelaksanaan birokrasi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Etika Administrasi
Etika berasal dari bahasa Yunani: etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isyilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya.Moril bisa berarti semangat atau doronganbatin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam prilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.
Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas. Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral, namun menyiksa anak disebut tindakan tidak bermoral.
Secara Epistimologis etika  dan moral memiliki kemiripan, namun sejalan dengan perkembangan ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada pergeseran arti. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsapat yang mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma.
Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat.
Sebagai suatu bidang studi, kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam ilmu administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya etika administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da memegang jabatannya.
Etika administrasi Negara karena menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral yang luhur pula. Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang yang sangat tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi pangkal pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.
Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses administrasiPembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik  bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.
Kode etik bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi karena bagaimanapun juga organisasi hanya akan dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja didalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.
B.     Peranan Etika Administrasi Terhadap Pelaksanaan Birokrasi
Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik, mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum, seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.
Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.
Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi.
Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,r esponsible, accountable, dan responsiveness.

.



BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998:139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi “good governance”. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Karakteristik atau unsur utama penyelenggaraan manajemen kepemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparasi (tranparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (rule of law) ‘Bhata dalam nisjar (1997:119)’.
Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya.ada tiga konsep penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas (Darwin, 1997:72)
Namun dalam kenyataannya, tak sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik. Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.
Penyebab utama munculnya mal-administrasi (bureaupathology) menurut Islamy (1998:14) adalah rendahnya profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil.
Saran
1. Diperlukan kesadaran dan itikad baik dari pribadi masing-masing dalam menjalankan tugas guna terciptanya pemerintahan yang bersih
2. Perlunya pemahaman nilai-nilai etika dan pengaplikasiannya
3. Perlu adanya right man on the right place, guna menghindari terjadinya kolusi
4. Perlu disusun agenda kebijakan pengembangan akuntabilitas dan responsibilitas publik bagi semua anggota birokrasi publik.
5. Perlu adanya aparat hukum yang mampu melakukan law enforcement yang tegas, jujur, profesional, responsiveness dan baik, demi revitalisasi penataan ulang manajemen pemerintahan Indonesia


DAFTAR PUSTAKA
 http://anggia-megani.blogspot.com/2011/11/analisis-hubungan-etika-dan.html
http://www.scribd.com/doc/30385579/Studi-Dan-Lingkup-Etika-Administrasi-Negara
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A, 2008. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Dr. J. Pangestu, Drs. Hazil, 1977. Management. Bandung: PT Ghalia Indonesia.
Abdul Gani, Yusra Habib. 2009. Self government: Study Tentang Perbandingan Desain Administrasi Negara. Jakarta : Paramedia Press.





0 comments:

Post a Comment